Betapa kagetnya saya melihat tayangan berita Metro
Siang tadi. Seorang bocah SD di Cinere, Depok, umur 12 tahun – mungkin
kelas 6 SD – melakukan penusukan pada teman sekolahnya hanya gara-gara
HP. Korbannya bernama Syaiful, juga berumur 12 tahun, berhasil
diselamatkan nyawanya karena tubuhnya diitemukan seorang tukang sampah
di selokan, lalu segera dilaporkan dan dibawa ke rumah sakit. Sampai
saat ini Syaiful masih dirawat karena luka di tubuhnya cukup parah.
Setelah berhasil diselamatkan, Syaiful mengaku siapa yang berusaha
membunuh dirinya.
Kejadiannya berawal ketika Syaiful kehilangan
sebuah HP. Entah bagaimana ceritanya, diduga pencuri HP adalah si “X”,
sebut saja demikian, sebab di Metro TV juga tak disebutkan nama anak
pelaku percobaan pembunuhan itu. Syaiful kemudian melaporkan perbuatan X
kepada gurunya. Guru berusaha untuk menengahi kasus pencurian itu dan
berencana untuk memanggil keduanya. Sebelumnya si X ini memang dikenal
sering mencuri barang milik temannya dan sering meminta uang kepada
teman-temannya termasuk kepada Syaifulyang dikenal sebagai anak baik.
Sayangnya, maksud baik sang guru belum terlaksana,
si X sudah keburu mengajak Syaiful ke suatu tempat yang sepi yang memang
sudah direncanakannya. Di tempat itulah, katanya, si X mengakui “Emang
gue yang ambil HP lu. Tapi HP itu sekarang sudah gue jual”. Kemudian,
tanpa didahului pertengkaran, si X yang memang sudah membawa pisau
belati besar di dalam tas sekolahnya, menusuk Syaiful. Ada sejumlah 8
tusukan keji dihunjamkan ke tubuh Syaiful di bagian perut, paha betis,
tangan. Semua tusukan itu tembus bahkan usus Syaiful sampai terburai.
Setelah yakin Syaiful mati, si X kemudian menyeret
tubuhnya ke selokan dan membuangnya ke dalam selokan agar tak mudah
ditemukan. Jika saja tak segera ditemukan tukang sampah yang
membersihkan selokan, mungkin saja Syaiful menemui ajalnya. Pihak RS
menyatakan sedikit saja terlambat diselamatkan, nyawa Syaiful melayang.
Saat ini kondisinya masih cukup kritis di RS Fatmawati.
Jelas, apa yang dilakukan bocah X adalah perilaku
kriminal murni. Ini bukanlah pembunuhan tak disengaja, sebab X sudah
menyiapkan pisau dari rumah, sengaja mengajak Syaiful ke jalanan sepi,
menusuknya berkali-kali sampai ia yakin tusukan itu cukup membunuh
korban, lalu dengan sengaja membuang tubuh korban ke selokan agar tak
ditemukan orang lain. Ini kasus pembunuhan yang direncanakan secara
rapi. Apalagi mengingat riwayat si X yang dikenal sudah seringkali
mencuri dan meminta uang pada temannya, patut diduga si X memang berjiwa
kriminal.
Entah apa yang terjadi pada bocah X ini. Saat ini
ia sudah diperiksa pihak yang berwajib didampingi kakaknya. Dalam berita
itu, tak disinggung mengenai orang tua si X. Pelaku maupun korban
memang sama-sama masih anak-anak, tapi mengingat betapa kejinya si X
menghabisi temannya dan betapa detil perencanaannya atas uapaya
pembunuhan ini, sulit dipercaya bahwa ini hanya kenakalan anak-anak
semata, yang cukup diselesaikan dengan upaya damai keluarga kedua belah
pihak.
Beberapa bulan lalu, saya pun melihat tayangan
berita di TV, mengenai 2 anak SMP, usia 14 tahun yang membunuh temannya
gara-gara saling ejek saat bermain game online di sebuah warnet. Semula
mereka bercanda, kemudian berlanjut saling ejek sampai salah satu anak
marah, lalu bertengkar dan akhirnya anak yang marah menusuk temannya
sampai meninggal. Saya tak tahu apa yang terjadi pada anak-anak jaman
sekarang, yang kemarahannya mudah meledak hanya karena hal sepele. Jika
anak 30 – 20 tahun lalu biasanya berantem dengan tangan kosong, anak
sekolah sekarang sudah mempersenjatai dirinya dengan senjata tajam, ada
atau tidak ada bahaya yang mengancam.
Maraknya tayangan kekerasan di televisi, kebiasaan
menonton game online yang membuat anak terbiasa dengan darah muncrat
kemana-mana, otak mereka distimulasi untuk menyeranglebih dulu sebelum
diserang, semua itu memicu perilaku kriminal dalam diri anak. Pantas
saja jika psikolog Elly Risman menyebut bahwa dengan membiarkan
anak-anak bermain game online, berarti kita sedang mendidik
teroris-teroris masa depan.
Tentu saja tayangan televisi dan game online memang
bukan satu-satunya faktor penyebab. Ada peran keluarga dan lingkungan
terdekat yang mempengaruhi pembentukan karakter dan perilaku anak.
Karena itu, untuk kasus kriminal semacam yang terjadi di Depok,
mengembalikan anak kepada orang tua/keluarga bukanlah solusi yang tepat.
Sebab selama ini orang tua/keluarganya lah yang telah lalai memberikan
pendidikan dan kasih sayang sehingga perilaku kriminal tumbuh subur
dalam diri si anak.
Anak yang menjadi pelaku tindakan kriminal berat
semacam itu perlu mendapat hukuman yang setimpal sekaligus pembinaan
yang intensif untuk memulihkan penyimpangan perilakunya. Ini bukanlah
sekedar pencurian sepasang sandal jepit butut yang tak direncanakan,
atau pencurian mangga di halaman rumah dengan cara dilempar batu
kerikil. Tetapi seorang anak yang memang sudah mempersiapkan senjata
tajam, memilih tempat kejadian yang tepat serta ada upaya menghilangkan
jejak dan menyingkirkan korban.
Entah apa nanti argument para pembela hak anak.
Apakah dalam kasus seperti ini mereka tetap akan menyarankan agar
diselesaikan secara kekeluargaan? Beberapa waktu lalu, saat ramai
dibahas soal pencurian yang dilakukan anak, seorang aktivis Komnas
Perlindungan Anak di daerah dengan bangga menyebut Komnas Anak berhasil
memediasi seorang anak yang melakukan perkosaan terhadap temannya.
Alasannya, pelaku masih di bawah umur (belasan tahun).
Kenapa yang jadi pertimbangan hanya usia pelaku?
Bukankah usia korban pun masih anak? Kenapa yang dibela hanya HAM
pelaku, sedangkan korban telah direnggut HAM-nya terlebih dulu. Bukankah
gadis cilik yang mengalami kekerasan seksual berupa perkosaan dampaknya
bukan sekedar robeknya selaput dara? Dampaknya bisa terbawa sampai ia
dewasa dan meninggalkan trauma psikologis. Lalu siapa yang akan membela
HAM korban? Tidakkah si korban dan keluarganya kemudian akan merasa
dikorbankan 2 kali? Pertama ketika dia jadi sasaran perkosaan, kedua
ketika diminta untuk mengalah dan membiarkan pelaku bebas begitu saja
tanpa mendapat hukuman apapun.
Menghadapi kasus yang melibatkan anak memang tidak
boleh sama perlakuannya dengan orang dewasa. Tapi bukan berarti kemudian
memaklumi anak yang sudah jelas memiliki otak kriminal apalagi jika
ternyata sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri dan memalak. Hukum
tetap harus ditegakkan, siapapun pelakunya. HAM memang harus dihormati,
termasuk HAM korban. Semoga saja alasan pelaku masih anak-anak tidak
dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku itu dan membebaskan pelaku
dari jeratan hukum./Ira Oemar/Kompasiana