Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap salah satu pejabat di Mahkamah
Agung dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta, Jumat (12/2/2016)
malam.
Menanggapi penangkapan itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti berpendapat bahwa perubahan kewenangan melalui revisi UU KPK jelas tidak dibutuhkan untuk saat ini.
Dia melihat, OTT yang dilakukan KPK menunjukkan kewenangan penyadapan berjalan efektif dan efisien.
"Saya kira apa yang dilakukan KPK ini bagus," kata Bivitri saat
diskusi soal revisi UU KPK di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (13/2/2016).
"Memang harus dengan penyadapan dulu baru OTT. Sebab, kalau
penyadapan saat proses penyelidikan kenyataannya sangat susah
dieksekusi," ujarnya.
Bivitri juga mengatakan, kasus yang menimpa MA menunjukkan lembaga peradilan di Indonesia perlu diawasi dengan lebih ketat.
Saat ini fungsi pengawasan terkait etik memang sudah dilakukan oleh
Komisi Yudisial (KY). Adapun terkait tindak pidana dilakukan oleh
kejaksaan, kepolisian, serta KPK.
Namun, menurut Bivitri, selama ini ada resistensi dari MA ketika diawasi.
"Saya melihat MA ini gerah diawasi oleh KY karena MA selalu mencoba
untuk menolak upaya KY. KY pernah memberikan rekomendasi sanksi bagi
beberapa hakim kepada MA, tetapi diabaikan," ujarnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, pengawasan terhadap lembaga peradilan saat ini terbukti hanya efektif dilakukan oleh KPK.
Sementara itu, kejaksaan dan kepolisian terlihat seperti tidak bisa
menyentuh MA. Kalaupun ada kasus yang diusut, sering kali tidak
tertangani dengan baik.
"Ini indikasi kuat kita butuh KPK dan juga perlu adanya pembenahan di
tubuh kejaksaan dan kepolisian oleh pemerintah agar upaya pemberantasan
korupsi lebih efektif," kata dia.
Memuat...